Inilah Satu-Satunya Organisasi Yang Boleh Berdiri Saat Pendudukan Jepang

BantulMedia.com Inilah Satu-Satunya Organisasi Yang Boleh Berdiri Saat Pendudukan Jepang – Pemerintah kolonial Hindia Belanda tidak menyukai umat Islam di wilayah jajahannya.

Masalah ini dimanfaatkan oleh Jepang ketika mengambil alih nusantara dari Belanda. Jepang ingin menghilangkan simpati kaum muslimin agar mendukung Jepang dalam perang melawan negara-negara barat.

Inilah Satu-Satunya Organisasi Yang Boleh Berdiri Saat Pendudukan Jepang

Inilah Satu-Satunya Organisasi Yang Boleh Berdiri Saat Pendudukan Jepang

Untuk tujuan ini, Jepang menghidupkan kembali MIAI, sebuah organisasi Islam yang berdiri di Surabaya pada tahun 1937 oleh KH Mas Mansyur dan rekan-rekannya.

Namun MIAI akhirnya mati lagi. Jepang menggantinya dengan Masyumi. Berikut sejarah singkat MIAI dan Masyumi.

Majelis A’la Islam Indonesia (MIAI)

Pada bulan Mei 1942, Kolonel Horie, kepala Departemen Ajaran dan Agama yang didirikan oleh Jepang, mengadakan pertemuan di Surabaya dengan sejumlah tokoh agama Islam dari seluruh Jawa Timur.

Horie ingin mengenal para pemuka agama Islam. Ia ingin mengimbau umat Islam untuk tidak terlibat dalam kegiatan politik.

Di Jawa Barat, Kolonel Horie mengerahkan para pembantunya, Muslim Jepang seperti Abdul Muniam Inada dan Moh Sayido Wakas, untuk bergiliran mengunjungi beberapa masjid besar di Jakarta dan memberikan khutbah dan ceramah Jumat.

Sebaliknya, Jepang menginstruksikan ulama dan umat Islam untuk mengabdikan kegiatan keagamaan dan ummah mereka melalui organisasi.

MIAI bertujuan untuk memungkinkan organisasi massa Islam di bawah kendalinya untuk memobilisasi orang untuk tujuan perang.

Baca juga:

Penjelasan Mengenai Hak Warga Negara Mengikuti Pendidikan Dasar

Jepang juga mengaktifkan kembali MIAI pada tanggal 4 September 1942. Kantor pusat Surabaya dipindahkan ke Jakarta.

Adapun tugas MIAI pada saat itu adalah:

  • Membawa umat Islam ke posisi yang tepat dalam masyarakat
    Indonesia.
  • Membawa Islam sesuai dengan tuntutan zaman.
  • Membantu Jepang dalam Perang Asia Timur.

MIAI membuat sejumlah program yang berfokus pada gerakan Islam. Mereka berencana membangun Masjid Agung di Jakarta dan mendirikan universitas.

Tapi Jepang tidak setuju. Jepang hanya menyetujui rencana MIAI untuk mendirikan baitul maal atau lembaga pengelola amal.

MIAI terus berkembang sebagai wadah untuk bertukar pikiran dan meningkatkan kesadaran masyarakat agar tidak terjerumus ke dalam jebakan politik Jepang yang hanya bertujuan untuk memenangkan perang di Asia Timur.

Pada bulan Mei 1943, MIAI juga berhasil membentuk Dewan Pemuda yang diketuai oleh Ir Sofwan dan Dewan Perempuan yang diketuai oleh Siti Nurjanah.

Baca juga:

Tahukah Anda, Inilah Yang Bukan Tujuan Dari Politik Luar Negeri Indonesia

Pada tahun 1943 MIAI bahkan diizinkan untuk menerbitkan majalahnya Soeara MIAI. MIAI juga mendapat simpati yang luar biasa dari umat Islam.

Melihat hal tersebut, Jepang menjadi curiga dengan perkembangan MIAI. Dana yang terkumpul di Baitulmal diteruskan ke rakyat alih-alih diserahkan ke Jepang.

Para pemimpin Islam di daerah itu berada di bawah pengawasan. Jepang bahkan mengadakan pelatihan Kiai selama sebulan.

Dari hasil pelatihan kiai, pemerintah Jepang menyimpulkan bahwa kiai tidak mengancam posisi Jepang di Indonesia. Namun, MIAI tidak berkontribusi pada Perang Jepang.

MIAI akhirnya dibubarkan pada November 1943 dan digantikan oleh Majelis Syuro Muslim Indonesia (Masyumi).

Masyumi

Masyumi berdiri pada November 1943. Ketua pengurusnya adalah KH Hasyim Asy’ari. Perwakilan Muhammadiyah antara lain KH Mas Mansyur, KH Farid Ma’ruf, KH Mukti, KH Wahid Hasyim dan Kartosudarmo.

Sedangkan perwakilan Masyumi dari Nahdatul Ulama adalah KH Nachrowi, Zainul Arifin dan KH Muchtar.

Masyumi berkembang pesat karena ada cabang di setiap kediaman. Tanggung jawab Masyumi termasuk meningkatkan hasil panen dan mengumpulkan dana.

Masyumi adalah forum pertukaran pemikiran antara tokoh-tokoh Islam dan tempat berteduhnya keluhan.

Masyumi juga berani menolak budaya Jepang yang tidak sesuai dengan ajaran Islam. Salah satunya adalah Seikerei, atau pose tikungan 90 derajat ke arah Tokyo.

Ayah Buya Hamka, Abdul Karim Amrullah, menolak karena umat Islam hanya mengambil posisi ini ketika mereka membungkuk dan menghadap kiblat saat sholat.

Kesimpulan

Demikian – Inilah Satu-Satunya Organisasi Yang Boleh Berdiri Saat Pendudukan Jepang – hal ini menjadi pelajara penting umat Islam dalam masa penjajahan Jepang di Indonesia.